Beberapa hari yang lalu saya mendapatkan kabar bahwa adik dari teman saya kecelakaan akibat tabrak lari. My Goodness ... jaman sekarang kesadaran berlalulintas yang baik dan benar memang belum bisa dibilang sudah berada pada posisi yang baik. Masih banyak orang yang seenaknya di jalan dan tidak merasa penting untuk tertib dalam berkendara as if itu jalan nenek moyangnya [seperti ada suara-suara ... emang jalan nenek moyang gueee].Anyway, kecelakaan akibat tabrak lari seorang pengendara motor dengan kecepatan tinggi yang berjalan zig-zag itu memakan tiga sepeda motor yang lain. The other two keadaan nya hanya terluka lecet-lecet while adik teman saya was quite badly injured. Karena lokasi kejadian yang berdekatan dengan sebuah RS Internasional, dibawalah adik temen saya itu ke UGD RS tersebut. Tanpa pikir panjang itu lah yang diputuskan pada saat teman saya mendapatkan telpon dari masyarakat yang menolong adiknya itu. Singkat cerita, si adik harus di CTScan dan menurut diagnosa dia terkena gegar otak yang seperti itulah dan diICU kan.
Mengingat jadwal kuliah saya week-end minggu lalu, saya masih belum bisa in contact dengannya. Saya coba kontak teman saya itu, karena mungkin masih panik, he was unable to answer my call. Di hari Senin pada saat saya di kantor, saya coba untuk menghubunginya lagi untuk tau bagaimana kondisi adiknya tersebut. Ternyata setelah dua hari, si Adik itu belum keluar dari ICU. What? Apa ada yang salah? Dia bilang, katanya adik ku itu gegar otak ringan, mbak. Lah, kok kudu masih di ICU? Bukannya di Ruang rawat inap biasa sudah cukup. Gak tau lah, Mbak!
Pikiran pertama saya, wah kaco nih ... gak mungkin murah nih. Akhirnya saya bilang ke teman saya ini, "Minta billing nya, biar gak kaget nanti kalo pas waktunya bayar. Cuman jangan kaget jg kalo misalnya belum apa-apa udah bikin pingsan."Tidak lama setelah itu dia telpon saya kembali, "Bener, Mbak! 3 hari kok 7 juta lebih ya? Pdhal kemaren udah DP 1 juta. Duh! Gimana, ya? Kok jadinya mahal banget begini???" Nah Lo! Dan pada saat saya bezuk malam harinya, ternyata billingnya sudah sepanjang 5 halaman. It wasn't just the room bill and the CT Scan, tp there were oh-so-many small detail things yang juga tercantum, seperti kaos tangan, ya yang kecil-kecil yang kita tidak terpikir lah. My friend was really surprised with the bill. Dia tau RS itu bakal mahal but he didn't think that it would unbelievably cost him a fortune!"Minta ketemu formally ama dokternya. Bukan su'udzon sih, cuman RS jaman sekarang kan juga dibisnisin. Just to make sure aja, jadi biaya yang timbul bukan hasil hal-hal yang gak perlu. Bawa billingnya."
It turned out that dokternya tidak terlalu bisa diajak komunikasi. Pada saat teman saya bertanya ini itu, his excuse was, dia harus menangani the next patient dan kalau misalnya teman saya came up dengan ide lain, such as, memindahkan ke tempat lain, minta keluar ICU atau apapun itu, itu bukan menjadi tanggung jawab dari dokter itu. *sigh*
Pada saat saya cerita pada Ibu saya, her comment was ... Sakit tuh emang jadi barang mewah sekarang. Semua dibisnisin. Tapi yang sempat terpikir dalam benak saya, harusnya hal-hal seperti ini tidak perlu terjadi. Akan tetapi, in a state of panic, orang kurang bisa berpikir clear. Karena bagaimanapun juga life must come first.
And on the other way around, RS kadang juga gak liat gimana keadaan financial dari pasien sejak awal. Main tembak pake berbagai macem obat yang mahal-mahal. Apa mereka peduli seandainya pasien yang sudah terlanjur masuk ke tempat mereka, at the end, tidak bisa membayar bill nya? Can't they give the best suggestion over this kind of problem? Karena pada saat teman saya ingin bertanya mengenai kejelasan bill yang keluar untuk apa saja obat-obatan yg tercantum di sana yang terjadi adalah dia di'ping-pong' ke sana ke mari. First thing first, dia ke bagian ICU untuk menanyakan tentang ini apa ajah, peruntukannya dll. Jawab petugas ICU, "Bapak ke Kasir aja untuk penjelasan lebih lanjut." The same thing happened di kasir. Saya bilang ke dia, "Masuk akal gak sih kamu kalo nanya ke kasir? Paling dia kan cuman tinggal bikin bill dari obat-obatan yg keluar dari inventory mereka 'kan?" "Duhh .. iya juga ya, Mbak?" *sigh again!*
The other thing adalah bahwa dokter yang tidak komunikatif dalam menjelaskan what is really going on with his brother. Apakah dia memang sibuk dengan whatever yang dia kerjakan? Apakah pertanyaan2 yang timbul tidak dianggap penting untuk dijawab karena dia merasa penting atau apapun itu?Kemudian datanglah SMS dari teman baik saya yang happens to be a doctor yang isinya Tanyain aja ke dokternya, karena pasien punya hak buat tau apa yang terjadi. Intinya begitu. Tapi gimana bisa ditanyain kalau pas ditanya aja jawabnya juga udah segen. Sedangkan waktu tidak berhenti berputar, satu hari berlalu equals to argo yang berjalan dengan segala printil2 kecil yang harganya aduhai yahudnya.
Intinya yang saya sesalkan, sepertinya ada communication problem yang membuat the whole thing seperti ini. Pihak yang berwenang tidak being helpful [pdhal RS Int'l yang harusnya service oriented institution]. Orang awam yang dibuat bingung oleh sistem yang tidak jelas.
Akhirnya di suatu siang, saya dan teman saya bertelpon lagi. Adiknya sudah keluar dari ICU [finally! After 3-4 days]. Sudah agak lega tapi diapun masih belum tau kapan adiknya bisa keluar dari RS yang super mahal itu. He said, "Ini pengalaman berharga menjelang Natal, Mbak! Yang jelas the very expensive one!" Hope he and his family [especially his brother] can celebrate Christmas dengan hati dan keadaan yang lebih baik.
Saya dulu mikir, kejadian seperti ini only existed on the newspaper atau di acara tv yang kayak uang kaget or something. What do you think?
Anyway, enjoykanlah the most wonderful time of the year! Happy holidays, everyone!
posted by .:nien:.